twitter
rss




berikut beberapa kenangan itu :

Kenangan Baik

1. Harga- harga selama Soeharto berkuasa cenderung kuat dan stabil. Sayangnya prestasi ini akhirnya runtuh, di tahun 1997 dan puncaknya Mei 1998.

2. Ada yang mengatakan Soeharto adalah Presidennya para Petani, ini bisa dilihat dari seringnya TVRI menyiarkan pertemuan Soeharto dengan petani . Dalam acara Liputan Khusus TVRI usai Dunia Dalam Berita, kerap sekali kita menyaksikan dialog Presiden dengan Kelompencapir di desa-desa. Kadang hampir sejam penuh, kita ‘terpaksa’ menyaksikan acara tersebut. Kini,setelah dipikir-pikir dan ditimbang-timbang ternyata memang begitulah seorang Soeharto menyerap aspirasi wong cilik. Setelah Reformasi, dialog Presiden dengan wong cilik seperti ini sangat langka kita saksikan.

3. Masih ingat, setiap Rabu pekan pertama setiap bulannya, TVRI juga menyiarkan secara langsung atau tunda Liputan Khusus Rapat Kabinet Pembangunan. Biasanya Liputan diakhiri dengan keterangan pers Moerdiono atau Harmoko. Mereka biasanya menjelaskan point-point apa saja yang dibahas dalam rapat kabinet. Tak akan hilang dari memory , bagaimana seorang Harmoko selalu menjelaskan secara detil harga sembako seperti Beras, minyak tanah, Gula, Cabe Kriting, dan Minyak Goreng . “Menurut Petunjuk Bapak Presiden….” begitulah ucapan khas Harmoko yang terkenal.
Atau gaya Moerdiono yang matanya cuma lima watt itu secara pelan dan teratur menjelaskan persoalan negeri. Sekali Lagi kebiasaan ini juga langka kita saksikan di era reformasi.

4. Setiap awal Pelita, usia Pelantikan Presiden oleh MPR RI, Pemerintah di era Soeharto akan menginformasikan apa saja yang menjadi target tahunan dan Lima tahun ke depan yang ingin dicapai. Pembangunan Lima Tahun (PELITA) atau Rencana Pembangunan LIma Tahun (REPELITA) menjadi bahan bacaan wajib bagi anak sekolahan. Jika ditelaah, Pelita seperti masa Pak Harto menjadi semacam janji-janji yang harus dicapai Kabinetnya. INi lagi-lagi tidak bisa kita temukan (atau tak terinformasikan?) di era Reformasi.

5. Sewaktu SD dan SMP di zaman Soeharto dulu, semua siswa akan mendapat buku paket secara gratis. Bukunya baru dan lengkap sesuai kurikulum Depdikbud. Buku-buku itu akhirnya masih dapat dipaki oleh adik-adik kelas di tahun berikutnya. Selain itu para siswa juga tidak membayar SPP. Membeli buku baru saya temui ketika duduk di bangku SMA. Kini, membeli buku menjadi kewajiban yang memusingkan para orangtua. Parahnya lagi, buku-buku pelajaran yang dibeli tahun ini belum tentu bisa dipakai oleh adik-adik di tahun ajaran depan.

6. Ketika Soeharto berkuasa, setiap Kamis atau Sabtu sore, ibu-ibu akan berbondong-bondong membawa balitanya ke Posyandu. Lagi-lagi ini pengobatan gratis bagi rakyat. Bayi-bayi ditimbang, diberi susu atau bubur dan beragam vitamin yang dibagikan secara gratis. Lagi-lagi, di era reformasi ini kegiatan Posyandu tak kelihatan lagi. Di Kampung saya bahkan bangunan Posyandu sudah tak ada lagi begitu Soeharto lengser.

Selain yang positif, ada beberapa memory negatif yang terbentuk saat Soeharto berkuasa, yaitu :

KENANGAN BURUK
1. Ketika SMP dan SMA, masyarakat selalu ‘dihimbau’ tidak mengadakan keramaian setiap menjelang Pemilihan Umum. Pertemuan, rapat, bahkan kegiatan darmawisata sekolah selalu saja dihindari timingnya berdekatan dengan hari-hari pemilu.
Masih ingat, ketika dalam rapat OSIS, Bapak Kepala Sekolah menyarankan kepada kami untuk menunda Pesta Perpisahan Kakak Kelas yang akan mendatangkan Band kampung. ” Mau Pemilu, jangan rame-ramelah” Katanya. Dan kami pun manut saja.

2. Ketika sudah duduk di bangku kuliah, Pemerintahan Soeharto lewat intel-intel Kodam atau Intel Polda juga sangat alergi dengan diskusi-diskusi mahasiswa. Masih saya ingat, bagaimana Kelompok Diskusi Andalusia milik kami terpaksa mempercepat dan mengurangi jam diskusi gara-gara intel-intel sudah mulai melakukan operasi mata-mata ke berbagai kelompok diskusi. Bahkan pernah ada kelompok diskusi yang nekad diskusi sampai pagi, digerebek intel. “Membuat keresahan dan mengancam ketertiban…” begitu kilah mereka.

3. Diskusi Kelompok makin harus waspada, begitu masa Pemilu tiba. Topik-topik diskusi seperti Efektifitas Golput, Calon Presiden Indonesia selain Soeharto atau Tak Mencoblos Golkar adalah topik-topik yang dipastikan akan membuat suasana diskusi sedikit mencekam dan harus pasang kuping agar tak kepergok intel.

4. Ketika Soeharto jaya, jangan harap dapat memperoleh informasi berita demosntrasi atau kerusuhan di suatu daerah secara utuh. Ketika terjadi Kerusuhan di Lampung tahun 1989, berita tentang kerusuhan itu sangatlah kecil dan kurang memuaskan bathin kita yang bertanya-tanya saat membaca. Saat itu, membaca Majalah Tempo adalah alternatif yang sangat mencerdaskan dan dapat memenuhi hasrat informasi yang seolah dirampas.

5. Kodim atau Babinsa sebelum reformasi sangatlah menakutkan. Orang-orang di kampung selalu mengatakan “Jangan sampai berurusan dengan dua lembaga itu”. Orang-orang Kodim kalau di kampung juga sangat ditakuti dan menjadi beking toke-toke atau mafia tanggung.

6. Kebebasan berpendapat menjadi barang mahal di zaman Soeharto berkuasa. Melakukan demonstrasi saat itu jadi prestasi tersendiri. Mahasiswa dan tim kreatifnya aksi pernah di datangi intel Kodam pada suatu malam , saat sedang mempersiapkan spanduk, boneka dan poster untuk aksi unjukrasa memprotes Menko Polkam Soedomo di DPRD Sumut.